Jakarta, – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 9 Mei 2025, diwarnai oleh permohonan tegas dari kelompok mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Para mahasiswa ini meminta MK untuk membatalkan keseluruhan UU TNI hasil revisi tersebut dengan dalih utama bahwa proses pembentukannya tidak memenuhi asas keterbukaan atau berlangsung secara tidak transparan.

Permohonan yang diajukan oleh para mahasiswa UI ini menjadi salah satu dari total 11 gugatan uji materi terhadap UU TNI yang baru disahkan, yang mulai diperiksa oleh MK hari ini. Argumen utama mereka berfokus pada cacat formil dalam proses legislasi, sebuah tantangan yang jika dikabulkan dapat berimplikasi pada pembatalan seluruh undang-undang tersebut.

“Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” demikian inti permohonan yang disampaikan. “Mereka menilai proses pembentukan UU TNI tidak memenuhi asas keterbukaan.”

Tuntutan Pembatalan dan Pemberlakuan Kembali UU Lama

Lebih lanjut, dalam petitumnya, para mahasiswa tidak hanya meminta pembatalan UU TNI yang baru, tetapi juga mendesak agar ketentuan-ketentuan dalam UU TNI yang lama, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004, diberlakukan kembali.

“Menyatakan ketentuan norma dalam UU yang telah diubah dihapus atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berlaku kembali,” imbuh salah satu perwakilan mahasiswa dalam pemaparannya di hadapan majelis hakim konstitusi.   

Permohonan ini diajukan oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), yang terdiri dari Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi. Mereka secara spesifik mengajukan uji formil, yang berarti fokus gugatan adalah pada prosedur pembentukan undang-undang yang dianggap melanggar ketentuan konstitusional, bukan pada substansi materi pasal per pasal.   

Menurut para mahasiswa, proses revisi UU TNI yang menghasilkan UU Nomor 3 Tahun 2025 tersebut berlangsung dengan mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi publik yang bermakna. Mereka menyoroti dugaan bahwa penyusunan RUU TNI dilakukan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa memenuhi syarat kedaruratan yang ditentukan, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum. Selain itu, proses yang dinilai terlalu cepat juga menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas pembahasan dan penyerapan aspirasi publik.

Implikasi Cacat Formil dan Alarm Supremasi Sipil

Gugatan uji formil memiliki konsekuensi yang signifikan. Jika MK mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa proses pembentukan undang-undang cacat secara formil atau prosedural, maka seluruh undang-undang tersebut dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tanpa perlu mempertimbangkan materi muatan pasal-pasalnya.

Kekhawatiran mengenai substansi revisi UU TNI sendiri sebelumnya telah banyak disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil, yang menganggap beberapa pasalnya berpotensi mengancam supremasi sipil dan mengembalikan peran TNI ke ranah di luar pertahanan negara. Meskipun gugatan mahasiswa UI ini secara spesifik menyoroti aspek prosedural, tidak tertutup kemungkinan bahwa kekhawatiran substantif tersebut turut melatarbelakangi desakan untuk membatalkan UU hasil revisi secara keseluruhan.

Respons terhadap pengesahan UU TNI hasil revisi ini memang cukup beragam. Pihak Markas Besar TNI menyatakan menghormati proses hukum yang berjalan di MK. Sementara itu, beberapa anggota DPR RI dari Komisi I, yang membidangi pertahanan dan luar negeri, menyerahkan sepenuhnya proses pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, seraya menyebut bahwa pengajuan gugatan adalah hak konstitusional setiap warga negara.

Sidang perdana yang digelar MK hari ini merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahap ini, majelis hakim akan memeriksa kelengkapan administrasi permohonan, kedudukan hukum para pemohon, serta mendengarkan pokok-pokok permohonan secara langsung. Para pemohon, termasuk kelompok mahasiswa UI ini, biasanya akan diberikan kesempatan untuk memperbaiki atau melengkapi permohonan mereka berdasarkan nasihat hakim sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas 11 gugatan terhadap UU TNI ini, termasuk permohonan dari mahasiswa UI yang mempersoalkan transparansi proses pembentukannya, akan sangat dinantikan. Putusan tersebut tidak hanya akan menentukan nasib UU TNI hasil revisi, tetapi juga dapat menjadi preseden penting mengenai standar partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses legislasi di Indonesia ke depan.